Guru atau Preman
Dalam dua hari ini ulasan tentang kejadian di SMKN 3 Gorontalo menjadi topik utama di televisi. Kejadian dimana seorang “guru” melakukan tindakan yang tidak semestinya terjadi. Seorang guru dengan sangat emosional menampar pipi siswanya yang dianggap melecehkan guru tersebut. Saya pribadi sebagai guru sangat ‘tidak nyaman” melihat tontonan tersebut.
Pertama tentunya ‘tindakan fisik” bukanlah final solution atas persoalan tersebut. Bahkan kecenderungannya justru akan memperkuat perilaku laku siswa untuk semakin “nakal” terhadap gurunya. Siswa tidak lagi melihat punishment akan menimbulkan efek jera. Sekali lagi bahwa penggunaan punishment haruslah sangat hati hati sekali. Karena dia bisa menjadi pedang bermata dua…..
Kedua, dalam kondisi guru tidak mampu mengendalikan emosinya lebih bijaksana mengarahkan kasus tersebut kepada pihak kedua seperti kepala sekolah atau konselor sekolah. Karena mereka memiliki kompetensi untuk meyelesaikan permasalahan yang ada di sekolah.
Ketiga secara psikologis guru yang melakukan tersebut perlu dicek kesehatan atau kondisi psikologinya. Jangan sampai sampai guru tersebut terlalu “overload” dalam mengajar, sehingga pada puncak titik kejenuhan mengajar, guru selalu mencari jalan singkat untuk menyelesaikan masalah.
Pada sisi lain sebagai konselor sekolah saya menjadi malu dan agak miris. Kembali lagi perlu dipertanyakan apakah konselor sekolah sudah melakukan banyak hal untuk membuat siswa bisa berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di sekolah tersebut Peran konselor sekolah tentunya bisa dioptimalkan dalam menyikapi perubahan perilaku siswa di sekolah. Jika seperti ini yang terjadi maka benar anggapan guru lain bahwa konselor sepertinya nggak punya pekerjaan………
Semua konselor pasti mengerti dan memahami bahwa layanan bimbingan dapat berfungsi preventif atau pencegahan, artinya merupakan usaha pencegahan terhadap timbulnya masalah. Dalam fungsi pencegahan ini layanan yang diberikan berupa bantuan bagi para siswa agar terhindar dari berbagai masalah yang dapat menghambat perkembangannya. Kegiatan yang berfungsi pencegahan dapat berupa program orientasi, program bimbingan karir, inventarisasi data, dan sebagainya. Ini memang bukan tugas yang mudah untuk dilakukan. Kegiatan preventif dengan pendekatan yang sesuai dengan usia siswa akan sangat membantu siswa tumbuh sehat secara psikologis.
Kembali ke-permasalahan apakah konselor sekolah telah menjalankan fungsi preventifnya secara optimal. Jika sudah, apakah kegiatan prenventif tersebut meaningful dan purposeful bagi siswa……
Sudah bukannya jamannya seorang konselor sekolah cuma “ceramah” saja didepan siswa, sembari mengatakan “anak-anak, kalian semua harus mematuhi aturan sekolah, tidak boleh ini…..tidak boleh itu…….bla….bla…..”
Yang saya alami di tempat saya bekerja, saya mencoba untuk “sedikit” lebih gaul dan mengikuti perkembangan informasi tentang remaja. Saya membaca majalah-majalah remaja, mengikuti perkembangan sinetron di stasiun TV, mengikuti perkembangan lagu lagu top 40…..Memperhatikan perkembangan liga sepakbola dunia, mengikuti perkembangan GP 500 dan Formula 1. Menurut saya dengan cara mengenal siswa dan gaya hidupnya, merupakan salah satu cara dan memudahkan konselor untuk bisa didengar dan diterima oleh siswa, serta mengenal siswanya lebih dalam. Berbicara dengan siswa menggunakan “bahasa” siswa tentunya akan memudahkan guru menjalin komunikasi yang positif disertai dengan sikap saling percaya, saling menghormati.

postingan dari http://narmada.blogdetik.com/2008/12/12/guru-atau-preman/

0 komentar:

Designed by Posicionamiento Web | Bloggerized by GosuBlogger | Blue Business Blogger